Di ketinggian sambil bercengkrama di depan tenda.
Ada gelak tawa. Ada celetuk rindu. Kalau ini bisa semuanya keluar. Memo ini takkan sanggup menampung coretan rindu.
Sampaikan saja pada hamparan langit bertabur bintang malam, karena kita masih di satu atap alam semesta yang sama.
Apa bintang sanggup menjadi penghubung. Ketika kita berdiri dalam kota yang berbeda. Bukankah dia sedang sibuk di angkasa sana ?
Kurasa bintang-bintang di atas sana akan berbaik hati dan menyampaikan titipan suara rindu dr bumi, dr bentangan dua selat yg memisahkan kita.
Kita berbeda kota. Selat yang membentang. Semoga bintang tak duluan mati sebelum sampai kotamu.
Jika bintang mati malam ini, masih ada harapan disatu gundukan nyata dari jendela kamarku,mungkin esok akan kutuliskan lagi memo rindu diatas sana.
Dan angin akan membawa pesan perlahan. Hangat dan tenang. Barat menuju timur. Menuju persinggahanmu. Hatimu. Aku rindu.
Kuhirup udara ini dalam-dalam, aku tau ada memo rindumu yg terbawa angin, melewati celah gundukan Rinjani, dan berakhir dikamarku
Di sana. Di tempatmu. Tempat matahari terbit lebih cepat.Mengetuk tubuh itu dengan hangat.Berbisik kasih pagi kepada embun. Kepadamu.
Biarkan sinar mentari yang perlahan menyusup ke barat menghangatkanmu bersama rindu dari timur. Ya, menghangatkan, bukan menghanguskan.
-Perbincangan antara Fatimah dan Mualim-
Semarang, 18 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar
please, don't spam...